Sikap kedermawanan adalah lambang dari kelapangan dada seseorang. Sebaliknya jika sikap pelit dan kikir, ditambah lagi dengan budaya suka meminta-minta, tidak perduli yang ditempati meminta adalah orang-orang lebih sederhana darinya, maka pertanda yang bersangkutan pemilik jiwa yang kerdil.
Karena itu, salahsatu inti ajaran agama ialah mengajarkan kedermawaan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Nabi Muhammad SAW banyak mencontohkan kedemawanannya. Korma sebiji masih bisa ia belah dua sebagian untuk dirinya dan sebagian untuk orang lain. Sifat ini diikuti oleh para sahabatnya seperti Umar ibn Khaththab yang menggendong sendiri gandum shadaqah pribadinya ke fakir miskin.
Kedermawanan (al-futuw) mirip dengan kemurahan hati (al-jud). Keduanya sama-sama menyucikan diri dan harta. Kedermawanan di sini betul-betul berorientasi kepada pemecahan persoalan keumatan dan kemasyarakatan, bukannya kegiatan sosial yang mengharapkan pujian, kedudukan, kehormatan, dan pujian.
Kalangan ulama juga ada yang mengartikan kedermawanan ialah seorang hamba yang selalu peduli terhadap urusan orang lain, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis Nabi: “Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong terhadap sesama saudaranya.” Kedermawanan juga berarti memaafkan terhadap kesalahan saudaranya dan menutupi segala aibnya. Inilah derajat kedermawanan paling rendah. Ketika kita menganggap diri kita tidak lebih utama dari pada orang lain. Ketika kita rajin melayani dan tidak dilayani maka kita sudah termasuk bagian dari.
Kalangan ulama tasawuf mengartikan kedermawanan kerelaan hati untuk memberi bantuan dan pertolongan kepada sesama makhluk, tidak hanya terbatas pada manusia melainkan juga makhluk lain termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan benda mati, karena bagi mereka dalam kamus Tuhan tidak ada benda mati, semua beribadah dan bertasbih kepada Tuhan.
Para dermawan dalam kategori ini menganggap harta yang diberikan untuk kepentingan orang lain yang lebih butuh atau untuk kepentingan akhirat, lebih besar maknanya ketimbang harta yang disimpan untuk kepentingan diri sendiri. Menurut Al-Junaid kedermawanan berarti menahan diri dari segala yang menyakiti orang lain dan memberi makanan kepada orang lain.
Ada juga yang mengatakan kedermawanan adalah menampakkan kenikmatan dan menyembunyikan cobaan, sebesar apapun cobaan itu. Kedermawanan juga berarti meninggalkan apa yang engkau inginkan demi yang engkau takuti.
Kedermawanan mengingatkan kita kepada pesan surah Al-Ma’un, yang intinya menghubungkan antara ibadah mhdhah seperti shalat harus berbanding lurus dengan ibadah-ibadah sosial seperti membebaskan kesulitan hidup terhadap anak-anak yatim dan fakir miskin. Selama kita belum merasa prihatin dan ikut serta mengambil bagian dari upaya pembebasan dari kesulitan hidup anak-anak yatim dan fakir-miskin maka selama itu kita masih disebut orang beragama secara kamuflase dan tentu saja belum bisa disebut pemilik jiwa kedermawanan.
Sumber: https://news.detik.com/berita/d-6179875/kedermawanan.