“Sesungguhnya Allah telah menetapkan ketentuan-ketentuan atas makhluk-Nya lima puluh tahun sebelum mereka diciptakan”, demikian kata Nabi Muhammad Saw. Jika yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang memberi rezeki itu adalah Allah, lalu mengapa ada rasa takut kepada sesama? Qadha itu sudah selesai diciptakan Tuhan, termasuk alam semesta ini telah selesai diatur, tidak ada sesuatu yang bergerak di dunia ini, kecuali atas izin Allah. Nabi menambahkan: Tidak gugur sehelai daun dari tangkainya melainkan sudah tercatat di Lauh al-Mahfudh. Lalu mengapa harus risau, sedih, dan putus asa? Bukankah depresi, insomania dan abses merupakan akibat dari putus asa dan ketakutan yang berlebihan untuk jatuh dan gagal?
Kekhawatiran, kecemasan, kegelisahan, dan ketakutan terhadap kemiskinan adalah bagian dari perdayaan setan kepada manusia, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui”. (Qs. Al-Baqarah/2: 268). Karena itu, kita tidak perlu memperhatikan orang-orang yang nenyebarkan berita bohong. Kecemasan hidup dan ketakutan menghadapi masa depan, seperti prakiraan-prakiraan akan terjadinya bencana dan ramalan-ramalan yang banyak mencemaskan kebanyakan orang, tidak lebih dari keyakinan-keyakinan yang tak berdasar. Nabi pernah mengingatkan kita: “Sekiranya besok sudah pasti kiamat, tetaplah menanam pohon”.
Yang penting bagi kita, serahkan segalanya perjuangan ini kepada Allah Swt, bukannya menyerahkan kemalasan dan kepusasaan kepada-Nya. Kita harus berusaha menghilangkan sikap ketergantungan kepada makhluk dan mengalihkan sepenuhnya kepada Allah Swt. Yang membuat kesuntukan dan kegusaran itu adalah sikap bergantung kepada orang lain, keinginan mencari simpati mereka, keinginan untuk dipuji, dan keinginan untuk tidak dicela. Kalau kita sudah mulai memperbaiki jalan pikiran maka segalanya akan berubah. Kita perlu berusaha melapangkan hati. Jika hati sudah lapang maka semua problem menjadi kecil, seperti dikatakan oleh Al-Mutanabbi dalam sebuah bait syairnya: “Masalah kecil menjadi besar di mata orang yang kecil, dan masalah besar menjadi kecil di mata orang besar”.
Resep untuk melapangkan hati menurut para arifin ialah: 1) Tauhid atau pengetahuan ma’rifah perlu terus dikembangkan, terutama pengetahuan tentang qadha dan qadr, yang menjadi bagian dari rukun iman kita, 2) memperbanyak amal shaleh, karena amal shaleh mengokohkan keimanan dan kepercayaan diri, 3) menumbuhkan keberanian dan ketegaran di dalam menjalankan perinsip, karena hanya dengan demikian kita bisa survive, 4) melapangkan dada, karena hanya dengan berlapang dada kita akan tenang di dalam menghapi tantangan dan permasalahan hidup, 5) menjauhi tindakan berlebihan, walaupun itu boleh (mubah), baik dalam bicara, makan-minum, dan bergaul, 6) senantiasa merenungi keindahan alam semesta ciptaan Allah Yang Maha Agung, untuk memperidah budi pekerti, melembutkan hati, dan mencerahkan pikiran, dan yang paling penting ialah 7) senantiasa mengingat Allah Swt (dzikrullah), karena dengan mengingat Allah maka hati akan tenang, seperti dijanjikan Allah di dalam ayatnya: Ala bi dzikrillah tathmainnul qulub (Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah maka hati akan tenang).
Sumber : https://news.detik.com/berita/d-6055105/resep-melapangkan-hati.