Al-Gazali yang bernama lengkap Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ġazālī, lahir di kota Thusi pada 450 H/1058 M dan wafat tahun 505 H/1111 M. Dalam disertasi Agil Al-Mahdali, keluarga Al-Gazali ada Sembilan orang dan masing-masing sering dipanggil Al-Gazali dan semuanya ilmuwan serta hampir semuanya penulis. Ada kesulitan membedakan sebuah naskah, Al-Gazali mana yang menulis terhadap naskah tersebut. Bahkan Ihya ‘Ulum al-Din juga ada yang mempertanyakan juz keempatnya, Al-Gazali mana yang menulis juz keempat tersebut, karena rasa dan gaya bahasanya sedikit berbeda dengan juz satu sampai tiga.
Meskipun Al-Gazali bukan termasuk ilmuan dalam bidang sains, sebagaimana ilmuan lain yang pernah dimuat di dalam artikel terdahulu, namun namanya juga sangat dikenal luas di Barat, terutama pemikiaran tradisionalnya yang sering berhadap-hadapan dengan filsuf muslim lainnya seperti Ibn Rusyd. Pesan-pesan moralnya juga sering dikutip oleh kalangan pengkhotbah agama Kristen di Barat. Ia juga dikenal sebagai penyeimbang terhadap ilmuan muslim yang berkecenderungan pada pemikiran liberal. Karya monumentalnya, Ihya’ ’Ulum al-Din, sering dikritik oleh ilmuan atau pemikir muslim. Namum, pada saat bersamaan buku ini juga memberikan kehati-hatian para ilmuan filsafat agar tidak menafikan ilmu-ilmu tradisional Islam.
Al-Gazali bersama dengan ilmuan yang bermazhab tradisional lainnya, sepertinya memasang badan untuk mempertahankan ilmu-ilmu tradisional keislaman. Ia memperkenalkan model kecerdasan spiritual sebagai bagian keilmuan yang tak bisa disepelekan apalagi ditinggalkan. Konsep mukasyafah dan konsep ma’rifah Al-Gazali yang tidak umum dikenal dalam ilmu filsafat terus dipertahankan. Menurut Al-Gazali, kecerdasan spiritual dalam bentuk mukasyafah (penyingkapan langsung) dapat diperoleh setelah roh terbebas dari berbagai hambatan. Yang dimaksud hambatan di sini ialah kecenderungan duniawi dan berbagai penyakit jiwa, tentu saja termasuk dengan perbuatan dosa dan maksiat.
Mukasyafah merupakan sasaran terakhir dari para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan meletakkan keyakinannya di atas kepastian. Kepastian yang mutlak tentang sebuah kebenaran hanya mungkin dapat dicapai ketika roh tidak lagi terselubung oleh khayalan dan pikiran. (Lihat Muqaddimah Ihya’ ‘Ulum al-Din).
Kecerdasan spiritual menurut Al-Gazali dapat diperoleh melalui wahyu dan atau ilham. Wahyu merupakan “kata-kata” yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya untuk disampaikan kepada orang lain sebagai petunjuk-Nya. Sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” (mukasyafah) kepada manusia pribadi yang disampaikan langsung masuk ke dalam batin seseorang. Al-Gazali tidak membatasi ilham itu hanya pada wali tetapi diperuntukkan kepada siapapun juga yang diperkenankan oleh Allah.
Menurut Al-Gazali, tidak ada perantara antara manusia dan pencipta-Nya. Ilham diserupakan dengan cahaya yang jatuh di atas hati yang murni dan sejati, bersih, dan lembut. Dari sini Al-Gazali tidak setuju ilham disebut atau diterjemahkan dengan intuisi. Ilham berada di wilayah supra consciousness sedangkan intuisi hanya merupakan sub-consciousness. Allah swt. sewaktu-waktu dapat saja mengangkat tabir yang membatasi Dirinya dengan makhluk-Nya. Ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah Swt, itulah yang disebut ‘ilm al-ladunny oleh Al-Gazali. (Lihat karyanya, Risalah al-Ladunniyyah).
Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A.
Imam Besar Masjid Istiqlal dan Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Syarif Hidayatullah
Ilustrasi: Istimewa