DALAM Islam dikenal dua hari raya penting, yakni Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Kedua hari raya itu mempunyai persamaan makna, yaitu hari pembebasan dan hari proklamasi kembalinya seseorang kepada semangat kesucian.
Kalau Idul Fitri, orang bisa kembali kepada kesucian setelah berpuasa sebulan penuh, sedangkan pada Idul Adha orang berpeluang kembali suci khususnya bagi mereka yang menunaikan haji dengan mabrur. Mereka bagaikan bayi yang baru lahir tanpa dosa (ka yaumi waladathu ummuh). Dalam hadis lain disebutkan, Al-hajj al-mabrur laisa lahu jaza’ illa al-jannah (haji mabrur tiada lain balasannya selain surga).
Hikmah yang dapat diperoleh melalui Hari Raya Idul Adha ialah memetik pelajaran berharga dari pengalaman Nabi Ibrahim, yang termasuk satu di antara kelompok kecil nabi yang memperoleh predikat ‘pemilik kebesaran’ (ulul ‘adhmi) dan secara khusus disebut sebagai ‘kesayangan Allah’ (khalil Allah).
Nabi Ibrahim mempunyai beberapa keutamaan, antara lain usahanya dalam merombak kepercayaan syirik atau politeisme menuju kepercayaan tauhid atau monoteisme mutlak. Oleh karena itu pula ia disebut ‘Bapak Monoteisme’.
Ia juga populer karena usahanya merombak tradisi yang anarkistis menuju masyarakat demokratis, dan ketabahannya menghadapi penguasa yang tirani. Tak kalah penting ialah besarnya pengorbanan yang ditunjukkan kepada Allah melalui ketulusan mengorbankan putranya.
Sebagai penganut teologi rasional dan monoteisme mutlak, Ibrahim tidak terpengaruh oleh kepercayaan politeisme yang menyembah bintang, matahari, dan berhala sebagaimana dianut di dalam masyarakatnya.
Menurut pengamatan Ibrahim, sebagaimana direkam dalam Alquran, bintang-bintang yang cemerlang di kegelapan malam ternyata pudar di siang hari, matahari yang bersinar tenggelam di malam hari, dan berhala yang bertebaran ternyata tak mampu berbuat apa-apa. Ia pun berkeyakinan bahwa semuanya itu bukan tuhan, dan Tuhan sebenarnya ialah yang menciptakan alam raya beserta isinya.
Dikisahkan, Nabi Ibrahim mempunyai istri bernama Sarah. Sampai pada usia senja, pasangan ini tidak dikaruniai anak. Dalam suasana pasrah, Sarah mengizinkan Ibrahim mengawini budaknya bernama Hajar. Akhirnya Hajar melahirkan anak ketika Ibrahim berumur 86 tahun.
Sejak Hajar mengandung, Sarah cemburu, bencinya dan mencapai puncaknya setelah Hajar melahirkan. Hajar dan bayinya diusir. Di tengah pengembaraan, sang bayi sering ditinggal ibunya mencari makanan dan minuman. Tangisan bayi itu didengarkan Tuhan. Karena itu ia digelari Ismail, dari bahasa Ibrani, Isma (mendengar) dan El (Allah).
Sebagai tanda kekuasaan Tuhan, tiba-tiba muncul mata air di tengah padang pasir, yang kini populer dengan air zamzam.
Nabi Ibrahim tidak dapat berbuat banyak mengatasi persoalan ini dan sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Ibrahim kembali ke pangkuan Sarah.
Tuhan menghibur Ibrahim dengan kelahiran Ishaq dari rahim Sarah. Ketika itu, Ibrahim berumur 100 tahun. Itulah sebabnya di dalam kitab-kitab tafsir Mu’tabar terdapat dua versi terhadap anak yang dikurbankan Nabi Ibrahim.
Quran dan hadis-hadis sahih tidak menjelaskan siapa di antara kedua anak Ibrahim itu yang dikurbankan. Hanya dalam Kitab Perjanjian Lama Pasal 22 ayat 2 ditegaskan bahwa yang dikurbankan ialah Ishaq.
Bagi kita, tidak terlalu penting siapa yang dikurbankan, tetapi kisah Ibrahim yang sarat dengan pesan-pesan moral yang menarik. Ibrahim ialah simbol bagi manusia yang rela mengorbankan apa saja demi mencapai keridaan Tuhan.
Kalau kita menganggap Ismail yang dikurbankan, Ismail ialah simbol bagi sesuatu yang dapat melemahkan dan menggoyahkan iman, yang dapat membuat kita enggan menerima tanggung jawab. Simbol yang dapat mengajak kita untuk berpikiran subjektif, dan berpendirian egois. Tegasnya, simbol bagi segala sesuatu yang dapat menyesatkan kita.
Mari kita mengintrospeksi dan mengukur diri. Seandainya kita ialah ‘Ibrahim’, sudahkah kita memperoleh iman setangguh Nabi Ibrahim? Sudahkah kita menunjukkan pengorbanan yang optimal ke jalan yang diridai Tuhan? Jika kita, misalnya, berada di puncak karier, sudah relakah kita mengorbankan segalanya demi mempertahankan prinsip-prinsip ajaran yang dianut?
‘Ismail’ sebagai simbol bagi sesuatu yang amat kita cintai, sudah barang tentu kita semua memilikinya. Boleh jadi ‘Ismail’ kita mengambil bentuk kendaraan baru, rumah mewah, jabatan penting, deposito, atau kekayaan lainnya. Apakah kita sudah rela mengorbankan ‘Ismail-Ismail’ kita untuk mencapai rida Tuhan?
Jika kita sebagai suami, sudah sanggupkah kita meniru ketangguhan iman Nabi Ibrahim, mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya demi mengamalkan perintah Tuhan? Jika kita sebagai istri, sudah sanggupkah kita meniru ketabahan dan ketaatan Sarah atau Hajar, merelakan suaminya menjalankan perintah Tuhan dan menghargai jiwa besar anaknya?
Jika kita sebagai anak, sudahkah kita memiliki idealisme yang tangguh seperti Ismail, rela menjadi korban untuk suatu tujuan mulia?
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A.
Imam Besar Istiqlal & Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Syarif Hidayatullah
Foto Cyprianus Rowaleta